Jumat, 17 Juni 2011

PETISI KEDAULATAN PANGAN RAKYAT INDONESIA 2011

Krisis harga pangan yang sempat mencuat tahun 2007-2008 lalu kembali  terulang di penghujung tahun 2010 hingga 2011. Hal ini menunjukkan bahwa krisis itu belum berlalu, hanya sempat mereda sesaat. Bahkan FAO menunjukkan indeks harga pangan periode awal tahun 2011 ini jauh lebih tinggi (251) dibandingkan dengan indeks tertinggi pada krisis pangan 2008 (213,5).

Secara Nasional, kondisi ini dirasakan pada kenaikan sejumlah komoditi pangan yang cukup signifikan, seperti kenaikan harga beras 30,9 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya, atau harga cabe rawit yang melambung naik 119,14 persen dalam periode yang sama, disamping itu sejumlah komoditas lain seperti gula, telur, minyak goreng juga mengalami kenaikan antara 5 hingga 10 persen.
Kenaikan harga pangan seringkali tidak selalu muncul menjadi berita besar, namun dampak yang  dirasakan di tingkat rumah tangga sangat signifikan demikian juga terhadap perekonomian nasional. Terbukti kenaikan harga pangan sangat berpengaruh terhadap tingkat inflasi di Indonesia.
Rata-rata di tingkat rumah tangga, pengeluaran untuk pangan sebesar 50,62 persen dari total pengeluaran bahkan untuk rumah tangga miskin pengeluaran untuk pangan mencapai 73,5 persen dari total pengeluaran. Kenaikan 5 persen tentu sangat mempengaruhi pos pengeluaran rumah tangga.
Di tengah kondisi ini nampak bahwa jumlah penduduk miskin dan rawan pangan terbesar justru berada di pedesaan di tengah lumbung pangan negeri ini, menurut BPS jumlah orang miskin yang hidup di desa sebanyak 19,93 juta orang yang sebagian besar adalah petani.
Sejak lama Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama petani kecil di seluruh dunia menyatakan bahwa krisis pangan terjadi karena pangan sudah tidak dikelola oleh rakyat, dalam hal ini petani sebagai produsen pangan. Pangan dan pertanian saat ini telah dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan agribisnis yang didukung oleh berbagai kebijakan pemerintah. Penguasaan pangan oleh perusahaan telah menghilangkan makna pangan sebagai kebutuhan mendasar manusia, pangan hanya dipandang sebagai komoditas yang dapat mendatangkan keuntungan besar.
SPI melihat pentingnya melakukan konsolidasi secara internal maupun dengan organisasi tani lainnya, akademisi, politisi dan publik yang lebih luas untuk mendesakkan langkah serius dan menyeluruh mengatasi krisis pangan yang berkelanjutan ini dengan menegakkan kedaulatan pangan. Untuk itulah dilakukan serangkaian kegiatan untuk mendesakan hal ini kepada pemerintah dan lembaga legislatif.
Indonesia harus berdaulat atas pangannya. Berdaulat atas pangan berarti berdaulat untuk memproduksi pangan secara mandiri dan berdaulat untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar internasional.
Hal inilah yang disepakati para pemimpin gerakan masyarakat sipil di Indonesia dalam acara “Petisi Kedaulatan Pangan Rakyat Indonesia” di Taman Menteng, Jakarta, malam ini (24/01). Mereka adalah Henry Saragih (Serikat Petani Indonesia-SPI dan La Via Campesina), Sutrisno Sastromiharjo (Serikat Buruh Indonesia-SBI), Budi Laksana (Serikat Nelayan Indonesia-SNI), Risma Umar (Solidaritas Perempuan-SP), Muhammad Nuruddin (Aliansi Petani Indonesia -API), Berry Nahdian Furqan (Wahana Lingkungan Hidup-Walhi), Chalid Muhammad (Institut Hijau Indonesia-IHI), Indah Sukmaningsih (Institute of Global Justice-IGJ), Gunawan (Indonesia Human Rights Committee on Social Justice-IHCS), beserta elemen gerakan masyarakat sipil lainnya.
Henry Saragih dalam pidato politiknya menekankan bahwa sudah saatnya semua elemen gerakan masyarakat sipil di Indonesia ini untuk merebut kembali kedaulatan pangannya yang selama ini sudah “diberikan” pemerintah kepada korporasi dan pihak asing.
“Kebijakan impor bahan pangan yang semakin tak terkendali, proyek food estate, perampasan tanah, kriminalisasi petani dan masyarakat adat adalah gambaran bahwa pemerintah saat ini memang sama sekali tidak berpihak kepada petani dan rakyat kecil, dan hanya mengutamakan kepentingan korporasi dan pihak asing” tegas Henry.
Petisi ini sendiri dibacakan oleh Martinus Sinani, perwakilan SPI yang juga Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) SPI Nusa Tenggara Timur.
Acara ini juga sekaligus syukuran terhadap penghargaan yang diberikan kepada Henry Saragih dari sebuah surat kabar Inggris ternama, The Observer-Guardian. The Observer pada Januari 2011 yang lalu menobatkan Henry sebagai salah seorang dari 20 tokoh hijau dunia dan ditasbihkan sebagai pembela masyarakat miskin pedesaan. Sebelumnya Henry Saragih juga dinobatkan menjadi 50 orang yang mampu menyelamatkan bumi oleh harian The Guardian Inggris pada 2008 lalu.
Berry Nahdian Furqan, Direktur Walhi menyebutkan bahwa penghargaan yang diberikan oleh masyarakat internasional kepada Henry Saragih membuktikan kapasitas seorang Henry Saragih sebagai seorang pejuang yang konsisten memperjuangkan hak-hak kaum petani dan kaum miskin pedesaan.
Setelah sebelumnya digelar di berbagai wilayah di Indonesia, Petisi Kedaulatan Pangan Rakyat Indonesia (PKPRI) kembali dilaksanakan di Semarang, Jawa Tengah, Kamis lalu (16/06). Kegiatan yang tepatnya dilaksanakan di Gedung Graha Pena Jawa Pos ini diprakarsai oleh Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Serikat Petani Indonesia (SPI) Jawa Tengah dan menghadirkan elemen gerakan masyarakat sipil, mahasiswa, akademisi, hingga pedagang kaki lima.
Sumaeri, Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) SPI Jawa Tengah menyebutkan bahwa kerugian yang dialami oleh petani di lereng gunung terutama di daerah Jawa Tengah semakin meningkat seiring meningkatnya kebutuhan sosial budaya, tatanan politik semakin menjengkelkan, APBN/APBD dihambur-hamburkan oleh elit politik, sedangkan rakyat semakin miskin. Di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini terjadi tetesan air mata di mana-mana, hal itu terjadi karena struktur negara yang salah fungsi.
“Kalau kita melihat tragedi 1998, itu terjadi karena bobroknya moral dalam segala bidang dan karena adanya perdagangan internasional yang dilakukan oleh elit politik untuk kepentingan pribadi yang mengakibatkan munculnya Korupsi-Kolusi-Nepotisme di segala aspek kehidupan. Rakyat semakin miskin sehingga sulit untuk melakukan kedaulatan”, ungkap Sumaeri.
Sementara itu, Henry Saragih, Ketua Umum SPI yang juga hadir dalam acara ini menyampaikan bahwa selama 13 tahun era reformasi di Indonesia, ketidakberdayaan yang dialami oleh petani semakin meningkat. Petani kecil mengalami kerugiaan yang menjulang tinggi akibat adanya perdagangan yang tidak berdaulat. Indonesia masih menjadi negara pengekspor barang mentah sedangkan negara ini kaya raya akan hasil bumi dan harus rela mengekspor, mirisnya rakyat sendiri tidak mampu membeli harga bahan mentah tersebut. Angka kemiskinan di Indonesia membengkak menjadi 32 juta jiwa, dan itu belum termasuk masyarakat yang hampir miskin.
“Oleh karena itu rakyat Indonesia harus bangkit dari keterpurukan. Negara Indonesia yang kaya raya akan hasil bumi ini harus bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan petani (baca: rakyat), bukan untuk perusahaan-perusahaan besar, apalagi perusahaan asing,” papar Henry.
“Melalui Petisi Kedaulatan Pangan Rakyat Indonesia ini, mari kita konsolidasikan kembali kekuatan rakyat dan mengajak setiap orang untuk bersama-sama menyelesaikan masalah-masalah di negara tercinta ini. Insya Allah, pada 24 September nanti seluruh wilayah di Indonesia telah selesai ikut menandatangai dan mendeklarasikan petisi ini” tambah Henry.
Hadir  juga dalam acara ini perwakilan dari WALHI (Wahana Lingkungan Hidup), FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia) Semarang dan Yogyakarta, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), LPPNU (Lembaga Pengembangan dan Penelitian Nahdhatul Ulama), FKMPI (Forum Komunikasi Mahasiswa Pertanian Indonesia), mahasiswa (unsoed, UMS,), Omah Tani Semarang, perwakilan buruh dan nelayan, GP Anshor, Koalisi Perempuan Indonesia, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), dan perwakilan media setempat.
Acara petisi ini juga menghadirkan jajanan pasar yang serba tradisional seperti: arem-arem, lemper, nagasari, kacang tanah, dan pisang rebus. Hal ini sesuai dengan budaya petani yang memanfaatkan bungkus daun pisang yang lebih ramah lingkungan karena bisa didaur ulang bahkan bisa dijadikan pupuk organik.

Berikut ini adalah isi dari Petisi Kedaulatan Pangan Rakyat Indonesia:

PETISI KEDAULATAN PANGAN RAKYAT INDONESIA

Dengan berkat rahmat Tuhan yang Maha Adil, kami yang bertandatangan di bawah ini, warga negara Indonesia yang terdiri dari petani, buruh, nelayan, perempuan, penggiat lingkungan hidup, anak-anak, pemuda dan pelajar/mahasiswa, kaum miskin kota,   pekerja, akademisi, rohaniwan dan kalangan masyarakat lainnya mengungkapkan petisi kedaulatan Pangan Rakyat Indonesia, berikut ini:
Sesungguhnya krisis harga pangan yang terjadi sekarang ini, sebagai akibat dari diterapkannya sistem neolibarilisme. Melalui World Trade Organizations dan Free Trade Agreement. Akibatnya  pertanian  terkonsentrasi pada pertanian eksport, dan monokultur. Dewasa ini makanan tidak lagi sejatinya untuk makanan manusia, tetapi makanan telah diutamakan sebagai bahan industri agrofuel, dan keperluan perusahaan peternakan. Makanan juga menjadi bahan spekulasi perdagangan. Saat ini terus terjadi perampasan tanah-tanah rakyat dan penguasaan tanah-tanah negara oleh perusahaan-perusahaan privat di dunia ini.
Sesungguhnya kedaulatan pangan itu adalah hak dari segala bangsa di dunia ini untuk melindungi dan  memenuhi  kebutuhan rakyatnya untuk berkecukupan pangan, dan berbagi bahan pangan secara sukarela dan bergotong royong dengan bangsa-bangsa lainnya. Bahwa hak dari bangsa-bangsa di dunia ini telah berkurang bahkan hilang untuk bisa melindungi dan memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya.  Bahwa tekad para peminpin pemerintahan pada World Food Summit yang diselenggarakan Food and Agriculture Organizations (FAO) pada tahun 1996  untuk menghapuskan kelaparan sebanyak 50 persen dari jumlah 825 juta pada tahun 2015 dipastikan gagal. Karena yang terjadi justru  sebaliknya,  kelaparan  terus meningkat, diperkirakan sudah lebih 1 milyar pada tahun ini. Pun demikian di Indonesia jumlah orang-orang yang lapar tidak berkurang,  bahkan orang-orang yang lapar cenderung akan meningkat. Dengan terjadinya krisis harga pangan maka jumlah orang miskin akan meningkat tajam menjadi 60,40 juta jiwa. Yang paling rentan adalah perempuan dan anak-anak.
Sesungguhnya pemerintah Indonesia yang ada sekarang ini telah salah arah dalam mengambil kebijakan pembangunan pertanian dan pangan di Indonesia. Pemerintah Indonesia sudah tidak sanggup lagi menjaga kedaulatan pangan rakyat Indonesia. Pemerintah Indonesia telah menyerahkan kebijakan pangan Indonesia pada perangkap perdagangan bebas pangan dunia, ke tangan para spekulan pangan dunia, mendorong pemenuhan pangan Indonesia dari hasil impor. Pemerintah Indonesia telah membiarkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya bukan untuk memenuhi dan melindungi kebutuhan pangan rakyat Indonesia, tetapi sebaliknya untuk kepentingan perusahaan-perusahaan besar. Semua ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia telah abai terhadap konstitusi Indonesia, terutama pada pasal 33 UUD 1945, dan juga pasal 27 ayat 2, 31, dan 34.
Untuk menegakkan kedaulatan pangan dan mengakhiri kekalaparan di Indonesia dengan ini kami rakyat Indonesia menyatakan bahwa:
  1. Pemerintah Indonesia segera mencabut pembebasan impor bea masuk ke Indonesia, terutama impor bahan pangan, dan melarang impor pangan hasil Genetik Modified Organisme (GMO). Untuk jangka panjang harus membangun suatu tata perdagangan dunia yang adil dengan  mengganti rezim perdagangan dibawah World Trade Organizations (WTO), dan berbagai Free Trade Agrement (FTA). Menjamin ketersediaan benih lokal dengan memajukan pengetahuan para petani dan mengganti UU 12/1992 tentang sistem budidaya tanaman yang banyak mengkriminalkan petani. Sistem distribusi pangan yang liberal mengakibatkan ketidakstabilan dan maraknya spekulasi harga pangan.
  2. Pemerintah Indonesia harus melaksanakan reforma agraria dan landreform untuk memastikan hak setiap petani untuk menguasai tanah pertanian, sesuai dengan konstitusi Indonesia pasal 33 UUD 1945 dan UUPA No. 5 tahun 1960,  dan pemerintah Indonesia harus mencabut undang-undang; Undang-undang no. 7/2004 tentang sumber daya air, Undang-undang no. 18/2004 tentang perkebunan, serta Undang-undang no. 27/2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
  3. Pemerintah Indonesia harus menempatkan pertanian rakyat sebagai soko guru dari perekonomian di Indonesia,  dan pemerintah Indonesia harus menghentikan pengembangan food estate. Untuk menghambat ini salah satunya adalah dengan merevisi UU 7/1996 tentang Pangan. Pemerintah Indonesia harus mengembangkan pertanian berkelanjutan yang menjaga keanekaragaman hayati, mengurangi ketergantungan input luar, dan memandirikan pertanian di Indonesia.
  4. Pemerintah Indonesia harus membangun industri nasional berbasis pertanian, kelautan dan keanekaragaman hayati Indonesia yang sangat kaya raya ini. Sehingga memungkinkan usaha-usaha mandiri, pembukaan lapangan kerja dan tidak tergantung pada pangan impor.
  5. Pemerintah Indonesia segera memfungsikan Badan Urusan Logistik (BULOG) untuk menjadi penjaga pangan di Indonesia, dengan memastikan mengendalikan tata niaga,  distribusi dari hasil  produksi pangan  petani Indonesia, khususnya padi, kedelai, jagung, kedelai, dan minyak goreng. Pemerintah Indonesia juga harus menjadi pengendali seluruh impor pangan yang berasal dari luar negeri.
  6. Pemerintah Indonesia perlu memastikan adanya perlindungan sosial, menjamin pemenuhan pangan, pendidikan, kesehatan bagi semua warga negara, khususnya para buruh dengan menjamin kepastian kerja dan menghapus sistem upah murah. Menghapuskan UU No.13/2004 yang tidak menjamin kesejahteraan buruh dan mempermudah sistem kerja outsourcing.
  7. Pemerintah Indonesia dengan segera membuat program khusus menyediakan pangan bagi rakyat miskin, dengan mengutamakan  makanan bagi para ibu hamil, menyusui, juga bagi perempuan-perempuan yang berstatus janda, dan tidak memiliki pekerjaan  dan juga bagi anak-anak balita.
Kami rakyat Indonesia akan terus berjuang untuk bisa menegakkan  kedaulatan pangan demi tegakkan kedaulatan NKRI, dan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Petisi ini akan disosialisaikan diseluruh provinsi di Indonesia dan kemudian akan di tujukan kepada pemerintah baik eksekutif maupun legislatif bertepatan dengan momentum Hari Tani tgl 24 september 2011..

Semoga hal ini bisa menjadi salah satu media perubahan bagi sektor pertanian kearah yang lebih baik..
amiin..

HIDUP PERTANIAN..HIDUP PETANI..
WASSALAM.WR.WB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar